Tribratanews.polri.go.id – Jakarta. Dr. (H.C) Dra. Hj. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum., yang merupakan istri Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid, mengingatkan bahaya perdagangan manusia (human trafficking).
Pelaku Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) itu kian cerdas mengeksploitasi kerentanan psikologis masyarakat.
Dra. Hj. Sinta Nuriyah Wahid, yang juga pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, menyoroti kepiawaian pelaku TPPO memahami kejiwaan korban. Pelaku TPPO kerap menggunakan modus canggih seperti memberikan pekerjaan dengan iming-iming gaji besar untuk menipu korban.
"Hati-hati, modus operandi yang digunakan oleh para sindikat canggih. Mereka menggunakan cara-cara yang halus dan canggih dengan bujuk rayu yang menipu masyarakat," ujarnya, saat menjadi pembicara dalam Dialog Psikologi Nusantara XIII di Universitas Bina Nusantara Kampus Kijang, dilansir dari laman RRI, Jumat (25/4/25).
Dalam kesempatannya, ia melihat para pelaku memanfaatkan psikologis korban, seperti kondisi membutuhkan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan hidup.
"Ketika ada tawaran pekerjaan, masyarakat tidak butuh waktu panjang lagi untuk menerimanya," ujarnya.
Ia mengungkapkan salah satu faktor penyebabnya adalah minim literasi masyarakat dalam hal perdagangan orang.
Ia juga berpendapat kelalaian masyarakat tersebut seringkali dimanfaatkan pelaku untuk mencari mangsa.
"Akibatnya, masyarakat tidak pernah berhati-hati terhadap orang-orang yang menawarkan pekerjaan kepada mereka. Bahkan, mereka menganggap orang-orang tersebut sebagai penolong yang akan melepaskan mereka dari kemiskinan," ujarnya.
Selanjutnya, ia mendorong pemerintah semakin serius dalam memerangi TPPO. Menurutnya, perdagangan orang serta perlindungan terhadap perempuan dan anak belum serius ditanggapi oleh pemerintah.
"Penyediaan institusi dan perangkat hukum atau kebijakan harus diiringi dengan penyediaan SDM dan sarana yang memadai. Supaya dapat menjalankan peran dan institusi secara optimal," ujarnya.
Tak hanya itu, ia juga menegaskan pentingnya pendekatan penuh empati kepada korban. Ia menegaskan, orang-orang yang menjadi korban tidak boleh direndahkan.
Justru mesti didekati dengan cara-cara yang baik dan yang membangkitkan hati. "Sebab, membiarkan korban TPPO bersuara sendiri tanpa pembelaan, sama dengan menutup masa depan mereka," tutupnya.
(fa/hn/nm)