KemenPPPA Imbau Masyarakat Tidak Melakukan Stigmatisasi Terhadap Anak Korban Kasus Pembunuhan Istri Oleh Suaminya di Flores Timur

7 September 2022 - 07:20 WIB

Tribratanews.polri.go.id – Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) akan memastikan terlaksananya perlindungan terhadap empat anak korban dari kasus pembunuhan istri oleh suaminya, di Kecamatan Solor Selatan, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Perlindungan khusus tersebut ditujukan untuk memastikan anak tidak mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar, sekaligus menjamin pengasuhan dan tumbuh kembang anak terlaksana dengan baik.

“Kami menghimbau kepada masyarakat untuk tidak memberi stigma pada keempat anak korban kasus pembunuhan istri oleh suaminya, karena itu akan menambah trauma dari peristiwa yang dialami mereka. Keempat anak tengah mengalami trauma, terutama dua anak yang menyaksikan pembunuhan itu. KemenPPPA akan membantu untuk menyediakan psikolog atau psikiater untuk mendalami kejiwaan anak. Hal ini menjadi perhatian kami untuk memastikan keempat anak mendapatkan pendampingan dan pemulihan dari trauma yang dialaminya,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar.

Nahar menegaskan, KemenPPPA bersama Dinas Provinsi NTT dan Kabupaten Flores Timur akan terus memastikan keempat anak dari orang tua yang menghadapi kasus hukum di Flores Timur mendapatkan perlindungan, karena keempat anak tersebut rentan menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya sebagai pembunuh. Upaya perlindungan tersebut sesuai dengan amanat UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 angka 2, adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“KemenPPPA melalui Layanan SAPA 129 akan terus berkoordinasi dengan Dinas PPPA Provinsi NTT dan Dinas PPAKB Flores Timur untuk mengetahui perkembangan anak dan memberikan dukungan teknis yang diperlukan dalam proses pemulihan,” ungkap Nahar.

Nahar mendorong peran pemerintah daerah untuk terus mengawal kasus tersebut dan memberikan pendampingan jika anak mengalami stigma dan memerlukan perlindungan khusus lainnya. Hal tersebut merujuk pada UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 59 yang menegaskan bahwa anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya berhak mendapatkan perlindungan khusus. UU tersebut menegaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.

“Dalam kasus ini anak tidak bersalah, jadi jangan jadikan anak sebagai korban yang kedua kalinya atas stigmatisasi. Siapapun anak tersebut dalam kasus apapun, anak tidak boleh menjadi korban atas stigmatisasi masyarakat. Oleh karena itu, kami mendorong masyarakat baik perorangan maupun Lembaga agar turut serta untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak, antara lain dengan tidak mempublikasikan identitas, dan merundung anak, termasuk di ranah daring. Ini tanggung jawab kita bersama untuk menjaga setiap anak bebas dari segala tindak kekerasan secara fisik dan psikis,” ucap Nahar.

Anak-anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orang tua berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam bentuk konseling, rehabilitasi sosial dan pendampingan sosial. Hal itu sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf o UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, maka sesuai Pasal 71B UU 35 Tahun 2014. Upaya perlindungan khusus tersebut diharapkan dapat menghindarkan anak yang terdampak stigma dari masalah kesehatan fisik dan mental.

Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 91 PP 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak, untuk mencegah terjadinya stigmatisasi dan pelabelan terhadap Anak terkait kondisi orang tuanya, diharapkan dapat dilakukan beberapa upaya, diantaranya: (1) masyarakat perlu mendapat edukasi yang tepat serta berperan aktif untuk menghilangkan stigma terhadap Anak yang dilabeli terkait kondisi orang tuanya; (2) pemberian ruang kepada Anak yang dilabeli terkait kondisi orang tuanya untuk mendapatkan fasilitasi kegiatan rekreasional; (3) koordinasi dengan unit layanan yang menangani perlindungan Anak yang dilabeli terkait kondisi orang tuanya dalam hal terdapat potensi kekerasan dan diskriminasi terhadap Anak di daerah; (4) menghimbau pada masyarakat luas agar tidak terus melakukan perundungan dan mempublikasikan identitas anak karena kondisi orang tuanya yang sedang berhadapan dengan hukum.

Kasus pembunuhan di Flores Timur dilakukan oleh suami kepada istrinya, keempat anak berusia 17 tahun, 12 tahun, 10 tahun dan 8 tahun kini tinggal bersama pamannya.

Sumber : kemenpppa.go.id

in PPPA
# PPA

Share this post

Sign in to leave a comment