Tribratanews.polri.go.id - Jakarta. Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej, menyebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) harus mengedepankan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dalam kesempatannya ia mengatakan dalam sistem hukum nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan penyidik utama dalam seluruh tindak pidana.
Sementara itu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berperan sebagai penyidik pendukung yang tetap berada di bawah koordinasi dan pengawasan Polri.
"Polri ini sebagai penyidik utama. Dalam segala tindak pidana," ujarnya, dilansir dari laman RRI, Rabu (7/5/25).
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana terpadu (criminal integrated justice system), berkas perkara hanya diterima oleh jaksa dari penyidik Polri, bukan dari pihak lain.
"Sudah tepat karena penyidik adalah Polri, penuntut adalah jaksa, dan yang memutus perkara adalah hakim," jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga peran dan fungsi masing-masing institusi dalam proses penegakan hukum agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Tentu ini yang dapat mengganggu efektivitas sistem peradilan pidana.
Sebagai informasi, pemerintah dan DPR tengah membahas pembaruan KUHAP yang merupakan bagian dari reformasi hukum nasional.
KUHAP yang berlaku saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, telah berusia lebih dari empat dekade dan dinilai tidak lagi sepenuhnya relevan dengan perkembangan hukum, teknologi, dan dinamika masyarakat.
RUU KUHAP diharapkan dapat memperkuat jaminan hak asasi manusia, memperjelas peran institusi penegak hukum. Serta mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
(fa/pr/rs)