Mengejutkan membaca beberapa pemberitaan hari ini, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan radikalisme di Indonesia. Kasus pertama menyangkut keengganan Ketua DPRD Kota Cirebon memasukkan penolakan terhadap sistem kilafah saat terjadinya demonstrasi anti RUU HIP di Kota Cirebon, Senen awal pekan ini.
Meski kata-kata kilafah sudah dimasukkan bersama dengan paham liberalisme dan komunisne, Ketua DPRD Kota Cirebon, Affiati mencoret kata kilafah tersebut dan juga tidak membacakannya. Ironisnya, pembacaan ikrar akibat desakan massa tersebut dihadiri Dandim dan Kapolres Cirebon Kota.
Meski hanya skala di kota Cirebon, tentu Polri perlu menaruh perhatian pada kasus ini. Apalagi banyak yang menggugat Polri, karena adanya Kapolres Cirebon di lokasi saat kejadian berlangsung. Selain perlu menegaskan bahwa itu bukan sikap resmi Polri, rasanya memang perlu kehati-hatian Polri dalam polemik RUU HIP ini. Apalagi sebagian mereka yang menolak RUU HIP adalah mereka sebelumnya justru enggan memasukkan Pancasila sebagai dasar organisasi mereka.
Jadi jika sekarang mereka berteriak mendukung Pancasila, tentu perlu dicermati secara khusus. Hal yang sama yang juga perlu dicermati adalah semakin maraknya paham radikalisme masuk dalam berbagai institusi pemerintah, termasuk BUMN.
Bukan cerita baru banyak karyawan BUMN terpapar paham radikalisme. Sikap tegas pimpinan BUMN diperlukan untuk bisa mengontrol mereka sehingga tetap setia kepada NKRI dan Pancasila. Polri pasti dengan akan senang membantu mereka untuk mengurangi maraknya penyebaran paham radikalisme di berbagai BUMN tersebut.
Pihak Kementerian BUMN juga perlu tegas dan memberikan akses bagi Polri untuk bisa mencegah maraknya paham radikalisme di berbagai perusahaan dalam lingkup BUMN tresebut. Tentu lebih mencegah dan menanganinya sebelum menjadi besar dan membahayakan. Sekaligus menjadi jawaban Polri sebagai profesionalisme polisi ke depannya.