Paradoks Media Sosial: Diantara Demokrasi dan Ancaman Anarki.

31 January 2022 - 19:37 WIB
Kemudahan akses digital telah berdampak paradoks bagi demokrasi dan negara. Di satu sisi bisa mengakselerasi pemerataan akses dan kemajuan bangsa, tapi di sisi lain juga berdampak negatif dan bahkan membahayakan bagi persatuan dan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
 
Pelajaran dari Musim Semi Arab atau "Arabic Springs," yang berawal dari protes sosial yang diglorifikasi media sosial di negara Tunisia 2010, ternyata telah menimbulkan revolusi di negara-negara Afrika Utara dan Arab. 
 
Pemicu awalnya protes warga Tunisia terhadap pemerintahan otoriter Tunisia dengan membakar diri sebagai kecaman kepada pemerintah memicu kejatuhan pemerintahan negara-negara di semenanjung Magribi, seperti Tunisia, Mesir, Libya.
 
Bahkan sampai kini anarki dan perang saudara masih berlangsung di Syuriah.
 
Belajar dari Arabic Springs, tentu kelewat mahal dan pertaruhan yang besar. Bangsa ini pun tak ingin situasi yang kacau balau itu terjadi di nusantara ini.  
 
Akan tetapi, kedamaian dan harmoni kehidupan berbangsa tidak langsung jatuh dari langit. Harus ada proses berkelanjutan dari usaha segenap anak bangsa untuk menjaga dan merawatnya.  
 
Dampak positif akses digital juga jauh lebih banyak dibanding ekses negatif. Namun, kerap kali ekses negatif digital dikapitalisasi dan dimanfaatkan secara maksimal untuk mencapai tujuan destruktif oleh para kelompok-kelompok yang tidak ingin negeri ini rukun dan damai.
 
Secara teknis, dalam dunia digital kita mengenal algoritma artificial intelligence (AI). Di dalam AI yang ada saat ini terdapat klusterisasi berdasarkan kesamaan komunitas, identitas, ideologi dan pemikirannya. Individu, kelompok konservatif, radikal, oposan oleh algoritma AI hanya akan difeeding informasi soal tokoh, pemikiran, dan buku-buku atau referensi, komunitas yang sama dengan user. Tidak ada proses cross info atau feeding dari pihak moderat, pemerintah, tokoh dari lawannya. Dampaknya polarisasi sosial makin kuat, apalagi jika ada polarisasi politik yang kuat akan makin subur antar blok. 
 
Fenomena ini sendiri sudah ditemukan dalam riset pimpinan google Erich Schmidt dan Jared Cohen terhadap 60 negara. Karena itulah, penting disadari, bahwa penggunaan AI untuk kepentingan politik kontestasi seperti di di dalam pemilihan umum, bagi negeri pluralistik seperti Indonesia memiliki risiko yang nyata.
 
Dalam situasi masyarakat yang rendah budaya literasinya yang belum bisa membedakan mana realitas sebenarnya dengan realitas media apalagi media sosial, maka risiko itu semakin besar. Karenanya harus menjadi kesadaran bersama di dalam menghadapi tahun-tahun politik menjelang 2024 mendatang, harus disadari bahwa sendi-sendi utama kebangsaan tidak boleh dirusak dan dimanipulasi hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Tujuan hidup berbangsa harus tetap ada dalam diri setiap warga negara.

Share this post

Sign in to leave a comment