Memaknai Lakon Wahyu Makutharama di Pagelaran Wayang Kulit TNI-Polri

3 February 2023 - 15:19 WIB
Kumpulan Cerita Wayang

Tribratanews.polri.go.id - Jakarta. Polri dan TNI bersinergi melaksanakan pagelaran wayang kulit pada Jumat (3/3/2023). Dalam pagelaran tersebut, sang dalang Ki Harso Widisantoto, Ki MPP Bayu Aji Pamungkas, Ki Dr. H. Yanto,. SH., MH., Ki Sri Kuncoro akan memainkan lakon Wahyu Makhutarama. Sebenarnya apa atau siapa Wahyu Makhutarama ini?

Dalam filosofi-filosofi jawa maupun Ilmu weton, frasa Wahyu Makhutarama merupakan frasa yang tidak asing dan kerap menjadi salah satu pembahasan. Wahyu Makhutarama sendiri merujuk pada wahyu ilahiah yang diturunkan bagi para pemimpin yang sedang berada di tengah berbagai permasalahan maupun problem. Wahyu ini turun dan menjadi petunjuk, bekal, maupun bentuk lainnya yang menuntun pemimpin dalam merumuskan langkah yang tepat dalam menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi. Wahyu ini juga dikenal dengan nama Hasta Brata dalam agama hindu.

Baca juga : Pagelaran Wayang Polri Dimeriahkan 4 Dalang Hingga Sinden

Dalam konteks perwayangan, Wahyu Makhutarama juga menjadi salah satu pembahasan ikonik yang melibatkan berbagai tokoh-tokoh besar pewayangan, khususnya Arjuna. Cerita tentang Wahyu Makhutarama bermula pada titah Duryudana di Astina, yang merupakan guru Pandawa dan Kurawa, yang mengutus Adipati Karna, Pandawa dan Kurawa pergi ke Gunung Kutharungu. Gunung tersebut merupakan tempat pertapaan Swelagiri. 

Perintah ini dikeluarkan Duryudana karena ia mendapat wangsit dalam mimpinya bahwa barang siapa yang bisa memiliki Makuta Sri Batararama, maka ia akan menjadi sakti, dan akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Adipati Karna yang dikenal taat pun pergi menjalankan tugasnya ke Kutharungu. 

Di Kutharungu ia bertemu dengan Hanoman. Diketahui Hanoman mendapat tugas dari Panembahan Kesawasidi untuk menjaga keamanan. Sebab, Panembahan Kesawasidi sendiri sedang bertapa di tempat tersebut.

Karna sempat mengungkapkan maksud kedatangannya kepada Hanoman. Namun, Hanoman yang berpegang teguh pada tugasnya menjaga tempat tersebut tak membiarkan Karna lewat. Sama-sama memiliki kemauan yang keras, keduanya pun bertarung. Karna pun mengeluarkan pusaka Panah Kunta Wijayandanu untuk menghadapi Hanoman yang memang dikenal sakti mandraguna.

Hanoman sendiri tak menganggap remeh Adipati Karna sedikitpun karena ia mengetahui bahwa senjata Karna itu bukan sekadar pusaka. Hanoman pun terbang tinggi untuk menangkap panah yang telah dilepaskan oleh Karna. Serangan Karna pun terpatahkan dan ia kehabisan akal menghadapi Hanoman hingga ia kembali ke Awangga. Ia menolak pulang ke Hastina karena belum berhasil menjalankan tugasnya.

Sementara itu Pandawa mengandalkan Arjuna untuk mencari Makutharama. Perjalanan Arjuna ditemani oleh empat sahabat yang dikenal dengan Punakawan. Dalam perjalanannya ke Kutarungu, ia sempat dihadang oleh raksasa-raksasa yang menganggunya. Namun, dengan kesaktian Arjuna, serangan raksasa-raksasa itu tak menjadi halangan berarti.

Akhirnya, Arjuna pun sampai di Swelagiri. Beruntung ketika Arjuna sampai, Panembahan Kesawasidi sudah selesai bersemedi. Mengetahui insiden antara Hanuman dan Karna. Panembahan Kasewasidi pun menegur Hanuman lalu memerintahkan Hanuman bertolak ke Kendhalisada untuk bertapa dan memohon ampun atas kesalahannya.

Bertemu dengan Kesawasidi, Arjuna pun menjelaskan maksud kedatangannya. Panembahan Kesawasidi memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Makutharama itu bukanlah sebuah barang/benda apalagi barang. Wahyu Makutharama merupakan pengetahuan tentang kebijaksanaan dan budi pekerti raja yang sempurna. Pengetahuan itu pun diajarkan secara lengkap ke Arjuna, bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat dasar alam, yakni matahari, bulan, bintang, mendung, bumi, samudra, api, dan angin.

Setelah selesai menyampaikan ajaran Makhutarama atau Astabrata itu, Panembahan Kesawasidi menyerahkan pusaka Kuntawijayandanu yang sempat direbut Hanuman kepada Arjuna. Ia meminta pusaka tesebut agar diserahkan kembali kepada Karna sebagai pemilik. Arjuna pun bertolak meninggalkan Panembahan Kesawasidi.

Tanpa sepengetahuan Arjuna, Kesawasidi kemudian berubah menjadi wujud aslinya yaitu Prabu Kresna. Prabu Kresna secara diam-diam membuntuti Arjuna kembali ke kerajaannya di Amarta.

Di Amarta, para punggawa Pandhawa dan para sahabat sedang resah. Sebab,Arjuna yang sedang mencari wahyu Makutharama tidak kunjung pulang. Sementara itu, Prabu Kresna yang merupakan patron dekat Pandhawa dari Dwarawati juga lama tidak berkunjung. Puntadewa sebagai kakak pertama kemudian memerintahkan Werkudara untuk mencari Prabu Kresna. Sementara itu, anak Werkudara, Gatotkaca diperintah terbang untuk mencari Arjuna.

Dewi Subadra dan Dewi Srikandi juga mengkhawatirkan suaminya, Arjuna, yang tidak kunjung pulang. Batara Narada kemudian mengubah Subadra dan Srikandi menjadi ksatria agar dapat ikut mencari Arjuna. Dewi Subadra menjadi Shintawaka dan Dewi Srikandi menjadi Madusubrata, lalu keduanya bertolak ke pertapaan Kutarungu.

Sepanjang perjalanannya, Shintawaka dan Madusubrata berteriak-teriak menantang Arjuna dengan maksud agar Arjuna mendengar dan tertarik dengan mereka. Namun, teriakan mereka justru terdengar oleh Gatotkaca yang sedang terbang, juga untuk mencari Arjuna. Gatotkaca menghampiri Shintawaka dan Madusubrata untuk bertarung. Gatotkaca kalah dan diajak oleh mereka dan diajak bersama-sama mencari Arjuna.

Sementara itu, Adipati Karna di Awangga sedang sedih meratapi kehilangan senjata pusakanya. Arjuna kemudian datang padanya untuk mengembalikan Kuntawijayandanu kepadanya. Keduanya pun saling melepas rindu karena lama tidak bertemu. Arjuna pun menceritakan bahwa senjata itu diperolehnya dari Panembahan Kesawasidi saat ia bermaksud mencari Wahyu Makutharama. Mendengar cerita Arjuna, Adipati Karna yang memang sejak awal ingin tahu tentang wahyu Makutharama, meminta Arjuna untuk membagikan pengetahuan tersebut. 

Namun, Arjuna menolak karena merasa harus memegang amanat dari Makutharama. Keduanya lalu justru bertarung. Namun, Arjuna masih lebih sakti dan bukan tandingan Karna, sehingga Karna kalah dan melarikan diri. Arjuna berusaha mengejar Karna.

Dalam pelariannya, Karna justru bertemu dengan Shintawaka dan Madusubrata. Karna kemudian memberitahukan bahwa Arjuna berada di belakang mengejarnya. Arjuna yang sedang mengejar Adipati Karna kemudian dihalangi oleh Shintawaka dan Madusubrata. Pertempuran kembali terjadi. Kali ini, Arjuna kalah menghadapi Shintawaka dan Madusubrata, yang sebenarnya jelmaan istri-istrinya sendiri.

Kalah dari duo Shintawaka dan Madusubrata, Arjuna kemudian menghindar dan bertemu dengan Werkudara alias Bima yang sedang mencari keberadaan Prabu Kresna. Arjuna pun bercerita bahwa ia dikalahkan oleh dua Shintawaka dan Madusubrata. Ia meminta Bima membantunya mengalahkan Shintawaka dan Madusubrata.

Akhirnya dua kelompok pun bertemu. Namun, di pihak Shintawaka dan Madusubrata, ada Gathotkaca (yang merupakan anak Werkudara). Tim Shintawaka dan Madusubrata akhirnya mengalahkan Arjuna dan Werkudara. Wajar saja, sebab Gatotkaca tahu betul kelemahan sang ayah, Werkudara.

Saat Arjuna dan Bima mundur menghindari pertempuran dengan Shintawaka dan Madusubrata, mereka akhirnya bertemu dengan Prabu Kresna. Keduanya lalu menceritakan bahwa mereka baru saja dikalahkan oleh Shintawaka dan Madusubrata.Prabu Kresna yang merupakan titisan dewa Wisnu dengan kesaktiannya mengetahui siapa jati diri kedua satriya itu sebenarnya. 

Ia kemudian meminta Arjuna untuk menghadapi mereka kembali dengan menggunakan ilmu Asmaratantra yang berupa syair asmara yang bisa meluluhkan hati Shintawaka dan Madusubrata. Meski bingun, Arjuna menuruti apa yang diperintahkan Prabu Kresna. Akhirnya, saat Arjuna melantunkan syair tersebut, berubahlah wujud Shintawaka ke wujud aslinya yaitu Dewi Subadra dan Madusubrata kembali menjadi Dewi Srikandi.

Pada intinya, proses perjalanan Arjuna dalam mencari Wahyu Makutharama adalah proses perjalanan seseorang dalam meneladani ilmu kepemimpinan. Seorang pemimpin, sebagaimana diajarkan Kresna dalam Astabrata harus memiliki delapan watak dasar alam. Pemimpin harus berlaku seperti matahari yang menghidupi, bulan yang menerangi dalam gelap, bintang yang menjadi arah, dan mendung yang menunjukkan kewibawaan. Kemudian pemimpin juga harus memiliki sifat bumi yang kukuh, samudera yang luas artinya menampung aspirasi, api yang berani menegakkan kebenaran, dan angin yang menyentuh dan melingkupi seluruh tempat.

(ndt/af/hn/um)

Share this post

Sign in to leave a comment