Tribratanews.polri.go.id - Banda Aceh, 20 September 2024 – Atlet dan ofisial Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut 2024 yang berlaga di Provinsi Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) mengaku terkesan dengan toleransi dan keramahan warga di daerah berjuluk Serambi Mekah itu.
Marthen Bana, Wakil Ketua Bidang Humas dan Media KONI NTT mengatakan, dirinya baru pertama kali datang ke Aceh. Sebelumnya, Marthen mengaku, jika bisa ia lebih memilih ke Medan daripada ke Aceh karena alasan takut berbuat salah di Aceh yang menerapkan hukum Syariat Islam.
Namun, begitu mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, ia mendapat kesan positif. “Begitu tiba di Aceh, saat keluar dari ruang kedatangan, saya dihampiri seorang bapak, yang rupanya sopir taksi. Beliau menanyakan saya dari mana, mau kemana dengan begitu ramah. Lalu begitu tiba di penginapan, ada koran yang judulnya Pemulia Jamee yang artinya saatnya memuliakan tamu. Dari sini saya teringat ketika di bandara tadi, bahwa yang saya rasakan itu adalah memuliakan tamu,” ungkap Marthen dalam Konferensi Pers bertajuk “Tolerasi Beragama di Serambi Mekah” yang berlangsung di Media Center PON XXI Wilayah Aceh, di Hotel Hermes, Banda Aceh, Rabu (18/9/2024).
Setelah beberapa hari di Aceh, lanjut Marthen, ketika berinteraksi dengan warga Aceh, budaya Pemulia Jamee itu benar-benar terasa. Masyarakat Aceh juga begitu toleran terhadap tamu yang datang di Aceh. “Terima kasih Aceh, saya benar-benar betah berada di Aceh,” ucap Marthen.
Selain Marthen, Wakil Ketua Umum (Waketum) KONI Papua Tengah Cesar Avianto mengaku punya kesan tersendiri tentang Aceh. Menurutnya, ketika Papua menjadi tuan rumah PON XX pada tahun 2021, ia banyak berinteraksi dan membantu kontingen Aceh yang datang ke Papua. Sebaliknya begitu kontingen Papua Tengah tiba di Aceh, mereka mendapatkan pelayanan yang begitu baik dari tuan rumah.
“Bagi saya, meskipun Aceh ini menerapkan Syariat Islam, pandangan saya, Aceh ini sudah sangat siap menjadi tuan rumah. Saya ikuti di beberapa venue, atlet-atlet putri diberi kebebasan untuk bisa bertanding sesuai dengan apa yang mereka mau, tidak terikat dengan aturan-aturan yang ada. Itu bagian dari bentuk toleransi yang diberikan oleh Aceh sebagai tuan rumah,” ungkap Cesar.
Cesar juga menyoroti kehidupan sosial masyarakat Aceh yang begitu terbuka kepada kontingen yang ada. “Saya terkesan dengan kehidupan sosial masyarakat Aceh, dimana dengan penerapan Syariat Islam tapi Aceh terbuka untuk semua suku bangsa dan agama. Itu yang saya dapatkan di Aceh,” katanya.
I Nyoman Bagus Bhaskara Daneswara, atlet Dayung Provinsi Bali mengaku awalnya canggung dan takut untuk berinteraksi dengan masyarakat Aceh. Ia takut berbuat salah karena adanya penerapan Syariat Islam di Aceh. Namun seiring berjalannya waktu, Bhaskara merasa bahwa orang-orang Aceh itu asyik dan terbuka, dan ia pun terdorong menjadi terbuka.
“Waktu saya jalan-jalan di lapangan Blang Padang, saya bertemu orang-orang, kita ngobrol, wah asyik. Warga Aceh terbuka menerima kami, dan saya pun akhirnya nyaman, dan merasa kayak di rumah saja. Jadi untuk toleransinya wow, luar biasa,” kata Bhaskara.
Kesan senada dirasakan Marinus Beanal, atlet Rugby Papua Tengah. “Yang saya tahu di Aceh itu menerapkan Syariah, jadi saya berpikir nanti sampai di sana saya bagaimana, jangan sampai kita buat salah,” kata Marinus.
Setelah dua tiga hari di Aceh, Marinus merasakan hal yang lain. Pikirannya tentang Aceh sebelum tiba pupus setelah ia berinteraksi dengan warga Aceh. “Puji Tuhan, ketika tinggalkan Papua ke Aceh, kita tinggalkan keluarga, tapi ketika di Aceh kita berinteraksi dengan orang hotel, orang-orang di sekitar tempat tinggal kami, saya merasakan bahwa kita adalah keluarga,”jelasnya.
(ta/hn/nm)