Tribratanews.polri.go.id - Tangerang. Polresta Tangerang merespons cepat keresahan masyarakat terkait tindakan mata elang (matel). Hal ini menyikapi video pencegatan pengendara motor oleh 23 orang diduga matel, Kamis (11/9/25).
"Pada dasarnya, kami konsisten untuk menindak semua bentuk kekerasan baik yang dilakukan perorangan atau kelompok, tindakan premanisme, persekusi, termasuk yang berkedok debt collector," jelas Kapolresta Tangerang Kombes Pol. Andi Muhammad Indra Waspada Amirullah, Jumat (12/9/25).
Kombes Pol. Indra menerangkan, puluhan matel itu diamankan dari beberapa titik di Jalan Raya Serang. Ia mengemukakan, setelah video viral, dirinya langsung memerintahkan jajaran untuk melakukan pendalaman.
Setelah dilakukan pendalaman, ujarnya, petugas mengangkut 23 orang diduga matel.
"Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan mendalam untuk tindakan lebih lanjut," ujarnya.
Ia menegaskan, debt collector tidak dibenarkan main cegat, lalu merampas kendaraan di jalan. Menurutnya, ada mekanisme hukum yang mengatur proses itu.
Ditambahkan Kombes Pol. Indra Waspada, tidak ada lagi hak eksekutorial bagi penagih hutang apabila tidak ada kesepakatan antara debitur dan kreditur dan debitur menolak menyerahkan kendaraan. Hal itu merujuk pada Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 71/PUU-XIX/2021, yang menginterpretasikan bahwa wanprestasi tidak boleh ditetapkan sepihak oleh kreditur.
Dalam Putusan itu juga dijelaskan, objek jaminan tidak boleh langsung dieksekusi, meski sudah memiliki sertifikat jaminan.
"Penerima dan pemberi fidusia harus menyepakati terlebih dahulu mengenai cidera janji tersebut. Jika sudah ada kesepakatan para pihak, kreditur dapat langsungĀ mengeksekusi. Namun, saat tidak terdapat kesepakatan, maka pelaksaan eksekusi dapat melalui putusan pengadilan," jelas Kombes Pol. Indra Waspada.
Diungkapkannya, debt collector harus bernaung dalam satu badan hukum dan badan hukum tersebut memiliki izin dari instansi terkait. Selain itu, debt collector wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan.
"Apabila ada kesepakatan antara debitur dan kreditur, penarikan kendaraan bisa dilakukan, tapi harus oleh pegawai perusahaan pembiayaan tersebut atau pegawai alih daya dari perusahaan pembiayaan yang memiliki surat tugas untuk melakukan eksekusi benda jaminan fidusia," ungkap Kombes Pol. Indra Waspada.
Pada sisi lain, ia juga mengajak debitur yang menunggak untuk menunjukkannya itikad baik dengan melakukan penyelesaian kewajiban. Namun, Kapolres kembali menegaskan, dengan alasan apa pun, segala bentuk intimidasi dan kekerasan tidak dapat dibenarkan.
Kapolres menyampaikan, debt collector dalam menjalankan tugas tidak boleh intimidatif. Kemudian, debt collector harus menunjukan identitas diri, sertifikat profesi, sertifikat jamiman fidusia, serta menunjukkan surat tugas perusahaan pembiayaan.
"Apabila penarikan dilakukan secara paksa atau tanpa prosedur yang benar, tindakan itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 335 KUHP juncto Pasal 55 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, atau Pasal 365 KUHP juncto Pasal 55 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, jika terjadi perampasan di jalanan," jelas Kombes Pol. Indra Waspada.
Kepatuhan debt collector atas prosedur hukum menjadi sangat penting. Guna mencegah terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan mengatasnamakan debt collector. Selain itu, debt collector juga mesti memiliki data debitur yang jelas agar tidak salah saat hendak melakukan penagihan.
Pada beberapa peristiwa, orang atau beberapa orang yang mengaku sebagai debt collector mencegat pengendara di jalan, kadang di tempat sepi. Kata Indra Waspada, tentu itu merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Terlebih, pengendara yang diberhentikan adalah debitur yang sudah menyelesaikan kewajiban atau kendaraan sudah lunas.
"Oleh karena itu, kami imbau kepada debt collector untuk melakukan tugas dengan sesuai prosedur. Jika tidak, apalagi dengan kekerasan, kami akan tindak," ujar Kombes Pol. Indra Waspada.
(ay/hn/rs)