Menteri PPPA Ungkapkan Pentingnya Dukungan Tokoh Agama dalam Pencegahan Kekerasan

18 August 2022 - 08:54 WIB

Tribratanews.polri.go.id – Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bekerjasama dengan UNFPA menggelar ruang musyawarah dengan para Ulama di Indonesia terkait dengan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam pertemuan tersebut, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, menyatakan pentingnya dukungan dan peran serta dari tokoh agama dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, secara umum, maupun yang terjadi secara khusus di lingkungan Pesantren.

“Lembaga Pendidikan Berbasis Asrama yang merupakan lembaga pengasuhan alternatif atau bisa dikatakan sebagai “rumah kedua” bagi anak, sudah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk anak-anak dapat tumbuh dan berkembang serta terlindung dari segala bentuk kekerasan,” ujar Menteri PPPA, dalam acara Musyawarah Ulama Pesantren tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perspektif Pesantren, pada Senin (15/8).

Menteri PPPA mengungkapkan harapannya agar anak-anak dapat memperoleh pendidikan yang terbaik dalam lingkungan yang aman dan nyaman, apalagi berada dalam pendidikan berasrama yang berbasis agama.

Namun, berbagai pemberitaan mengenai kasus kekerasan yang menimpa anak di lembaga pendidikan berasrama berbasis agama, dinilai sangat mengkhawatirkan. Kasus kekerasan terhadap siswa di satuan pendidikan berasrama juga dilakukan tidak hanya antar siswa atau oleh siswa senior, namun juga oleh pembina, guru pembimbing, dan guru pengawas.

“Bila kita melihat kasus-kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan berasrama termasuk Pesantren, kondisi ini bisa dicegah antara lain dengan memperkuat peran wali asrama/musyrif, peran anak sebagai pelopor dan pelapor, dan juga termasuk pengurus Pesantren. Kami beserta Kementerian/Lembaga lainnya juga telah berkolaborasi dalam menyusun Pedoman Lembaga Pendidikan Berasrama yang Ramah Anak serta memperkuat program Pesantren Ramah Anak,” ujar Menteri PPPA.

Menteri PPPA juga mengatakan bahwa Pesantren perlu memiliki aturan terkait pencegahan kekerasan yang dilakukan oleh semua pihak, baik siswa, pengawas, pengurus hingga Ulama di lingkungan Pesantren. Menurutnya, Pengelola/pengasuh seyogyanya menerapkan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak.

“Di luar kasus-kasus yang sedang terjadi, saya sangat yakin, lebih banyak lagi lembaga pendidikan berasrama berbasis agama yang memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mampu melindungi anak-anak didiknya meskipun berada jauh dari rumah. Maka, saya sangat mengharapkan lembaga-lembaga pendidikan tersebut dapat menjadi contoh dan inspirasi agar seluruh lembaga pendidikan menjadi seperti itu. Apalagi, seluruh agama mengajarkan kebaikan, kelembutan dan kasih sayang bagi seluruh ciptaan-Nya,” tutur Menteri PPPA.

Senada, Sinta Nuriyah Wahid, Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menekan dan mencegah terjadinya beberapa kekerasan anak di pesantren dengan menerbitkan beberapa aturan, misalnya menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang mengatur soal teknis dan sosialisasi kebijakan perlindungan anak dari tindakan kekerasan di satuan pendidikan. Namun ia menambahkan, untuk melengkapi upaya pencegahan kekerasan melalui pendekatan legal formal tersebut, diperlukan pendekatan sosio kultural atau menanamkan pencegahan tindak kekerasan dari dalam diri.

“Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendekatan (sosio kultural) ini, diantaranya kembali memperkuat pendekatan dan metode spiritual di kalangan pesantren. Kedua, membentuk tim kerja yang melakukan pendampingan dan investigasi secara berkala terhadap pesantren. Tim ini bukan petugas untuk mengawasi, tetapi menjadi mitra pesantren untuk memberikan bimbingan dan konsultasi psikologis terhadap para santri agar tidak melakukan tindak kekerasan atau tidak keberatan untuk melapor jika melihat adanya tindakan kekerasan. Ketiga, melakukan sosialisasi perubahan cara pandang terhadap tindakan kekerasan dan tindakan pelecehan seksual terhadap anak di pesantren,” tutur Sinta.

Siti Badriyah Fayumi dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) juga mengatakan bahwa pesantren perlu melakukan pembenahan, diawali dari sosialisasi dan edukasi tentang kekerasan fisik dan seksual dengan bahasa agama dan hukum kepada pengasuh, guru, dan santrinya. Kemudian dilanjutkan dengan berperang melawan kekerasan fisik dan seksual tersebut, dan menjadikannya jihad melawan kemungkaran, sekaligus jihad untuk menjaga marwah pesantren.

Sementara itu, dari sisi potret media tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, Ismail Fahmi, Founder Media Kernels Indonesia, mengatakan bahwa dalam periode pemantauan media pada 6 Mei hingga 6 Agustus 2022, pembahasan soal kekerasan perempuan dan anak didominasi oleh sentimen positif (65%) berisi dukungan warganet terhadap perlindungan perempuan. Sedangkan, narasi negatif yang mengemuka di periode ini (25%), yaitu beredarnya kabar kasus pelecehan seksual di lingkungan sekolah dan pesantren di satuan pendidikan berasrama.

“Isu terkait kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan dan anak di satuan pendidikan berasrama selalu mendapat atensi tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh signifikasi isu dan human interest yang tinggi,” ujar Ismail.

Ia juga mengatakan tuntutan dari masyarakat terhadap isu – isu ini diarahkan ke pemerintah, khususnya untuk membentuk regulasi yang jelas tentang syarat dan ketentuan pondok pesantren. Pesan ini ditujukan pada Kemendagri, Kemenag, Kemendikbud, hingga organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah.

Acara Musyawarah Ulama Pesantren tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perspektif Pesantren yang diselenggarakan hingga 16 Agustus 2022 ini menghadirkan berbagai pakar dengan topik pembahasan, diantaranya mengenai tren kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan dan anak di pesantren, potret media tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak di Satuan Pendidikan Berasrama, kekerasan dan perspektif kekerasan dalam UU TPKS, hingga pencegahan kekerasan perempuan dan anak perspektif tafsir dan fikih.

Selain itu, juga terdapat sesi diskusi kelompok dengan perspektif hadits dan fiqih, tafsir, dan kebijakan pondok pesantren yang bertujuan menghasilkan usulan rekomendasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

in PPPA
# PPA

Share this post

Sign in to leave a comment