Kisah Perjuangan Emansipasi Wanita Raden Adjeng Kartini

21 April 2024 - 16:00 WIB
Marjinal

Tribratanews.polri.go.id - Jakarta. Pahlawan Nasional perempuan, Raden Adjeng (RA) Kartini selalu diperingati tanggal 21 April. Peringatan Hari Kartini untuk menghormati perjuangan RA Kartini dalam mewujudkan kesetaraan khususnya di bidang pendidikan dan kesetaraan gender di semua bidang, Minggu (21/04/24).


Dikutip dari laman Inews. Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879. Dia merupakan seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai penggagas atas kebangkitan perempuan pribumi agar setara dengan laki-laki.

Kartini merupakan keluarga bangsawan dari Jawa. Itulah sebabnya gelar Raden Adjeng alias R.A disematkan kepadanya.

Sesuai adat jawa yang masih melekat, gelar bangsawan ini kemudian diganti menjadi Raden Ayu saat ia menikah. Ayah Kartini bernama Raden Adipati Ario Sosroningrat putra dari Pangeran Ario Tjondro IV. Ibunda dari Kartini bernama M.A Ngasirah.

Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara (saudara kandung dan saudara tiri), namun Kartini adalah anak perempuan tertua dari semua saudara sekandungnya. 

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Hari Ini Untuk Wilayah Jakarta dan Kepulauan Seribu

Karena pemikiran kakeknya lebih terbuka saat itu, maka Kartini diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan di sekolah di ELS (Europese Lagere School) saat usianya 12 tahun Ketika dia menimba ilmu di sekolah tersebut membuatnya belajar Bahasa Belanda.

Kecerdasan Kartini semakin terasah. Sayangnya keinginannya untuk sekolah tidak bisa lama. Pada usia 15 tahun Kartini harus menghentikan langkahnya ke sekolahnya karena telah dipingit oleh K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Namun, hal itu membuatnya sangat gundah. Hingga akhirnya dia bertemu dengan sahabatnya dari Eropa dan mempelajari bagaimana seorang perempuan Eropa dengan membaca buku, majalah kala itu. Kemudian ia membandingkannya dengan perempuan Indonesia yang sangat berbeda.

Saat itu, perempuan Indonesia memiliki status yang rendah. Mereka tidak pernah mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi serta kesetaraan hukum. Adanya kondisi tersebut membuat miris hati dari Kartini. Ia ingin memajukan nasib perempuan pun tumbuh di hatinya.

Kartini merasa tergugah dan bertekad untuk merubah nasib kaumnya pada masa itu. Setelah dipingit pada usia 15 tahun, akhirnya ia menikah di usia 24 tahun pada tanggal 12 November 1903. Namun sayangnya Kartini bukanlah sebagai istri pertama dari K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, melainkan sebagai istri keempat dari Bupati Rembang itu.

Kala itu suaminya memahami maksud dari Kartini yang ingin memperjuangkan kaumnya, lalu ia mendukung penuh istrinya. Hal tersebut membuat Kartini semakin teguh dalam pendiriannya untuk membebaskan para perempuan.

Namun, Kartini tidak dapat berjuang lebih lama dalam memperjuangkan derajat perempuan karena ia telah wafat pada usia 25 tahun. Ia meninggal empat hari setelah melahirkan putra semata wayangnya, RM Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904, kemudian Kartini menghembuskan nafas terakhirnya.

Delapan tahun kemudian, tepat di tahun 1912, Sekolah Kartini dibangun oleh Yayasan Kartini yang ada di Semarang. Keluarga Van Deventer, tokoh Politik Etis kala itu yang menggagas berdirinya pembangunan sekolah tersebut. Lalu, tak lama pembangunan pun tersebar Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa daerah lain.

Diperingatinya Hari Kartini merupakan bentuk untuk menghormati perjuangan dari R.A Kartini dalam mewujudkan kesetaraan, kesempatan antara laki-laki dan perempuan di era modern yang secara khusus, terutama dalam bidang pendidikan dan secara umum kesetaraan gender di semua bidang.

Dengan adanya hari Kartini, diharapkan kaum perempuan bisa merefleksikan kembali semangat perjuangan Kartini dan menjadi inspirasi bagi perempuan lain di Indonesia.

Setelah wafatnya, R.A Kartini pada 17 September 1904, ada seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr.J.H Abendanon yang membukukan surat-surat Kartini dengan teman-temannya yang ada di Eropa dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Di dalamnya menceritakan kehidupan perjuangan Ibu Kartini dalam menegakkan hak-hak perempuan.

(fa/hn/nm)

Share this post

Sign in to leave a comment