Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM,
Visiting Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne
Kamis, 22 Desember 2016 | 17:26 WIB
Catatan Kamisan saya kali ini kembali didedikasikan untuk merespons isu hukum yang sedang aktual di Tanah Air. Dalam beberapa waktu terakhir, politik hukum kita diwarnai dengan diskusi soal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Di antara banyak fatwa yang sudah diterbitkan, dua Fatwa MUI yang lebih menyita perhatian akhir-akhir ini adalah terkait “Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama” tanggal 11 Oktober 2016 tentang videonya di Kepulauan Seribu; dan “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim” tanggal 14 Desember 2016.
Catatan ini dibuat berdasar kajian hukum tata negara, yang hingga kini masih terus saya pelajari. Agar jelas, perlu ditegaskan, bahwa catatan ini tidak bermaksud untuk memberikan penilaian benar ataupun salah terkait isi fatwa itu sendiri.
?Karena, untuk menilai isi fatwa itu, tentulah para alim ulama lebih punya kompetensi dan ilmu untuk melakukannya. Sekaligus, saya meminta maaf jika tulisan kali ini dirasa sangat teknis dan mendasar dari sisi ilmu hukum, suatu hal yang saya sengaja, dan memang tidak terhindarkan.
Sebagai pendapat hukum tata negara, mungkin saja kajian ini menguntungkan salah satu kelompok. Yang pasti saya menuliskannya dengan bekal pengetahuan yang saya miliki, dan tidak bermaksud kajian ini menjadi instrumen partisan ataupun alat politik bagi beberapa pihak yang sedang memperdebatkan keberadaan Fatwa MUI tersebut.
Salah satu isu yang mengemuka dengan Fatwa MUI adalah kaitannya dengan hukum positif. Saya memahami hukum positif sebagai hukum yang berlaku saat ini. Maka, hukum positif Indonesia artinya adalah hukum yang saat ini berlaku di Indonesia. Hukum positif di sini mencakup aturan perundangan yang berlaku umum (regelling), ataupun keputusan yang berlaku khusus (beschikking), yang pelaksanaannya dikawal oleh aparatur negara dan dunia peradilan.
Meski saya berbeda pandangan, ada yang menganggap bahwa makna hukum positif juga mencakup aturan yang pernah berlaku—dan sekarang tidak lagi. Yang pasti, hukum positif bukanlah aturan hukum yang belum berlaku, atau diinginkan berlaku pada masa yang akan datang.
Dalam bahasa Latin hukum positif disebut sebagai ius constitutumyang membedakannya dengan hukum yang dicita-citakan, hukum yang belum berlaku, hukum yang masih diangankan berlaku, atau disebut ius constituendum. Untuk membedakannya dengan hukum positif, saya menyebut hukum yang masih dicita-citakan tersebut sebagai hukum aspiratif.
Sebagai hukum yang berlaku di suatu negara, yang pelaksanaannya dikawal oleh aparatur negara dan dunia peradilan, maka tidak sembarang lembaga dapat menghasilkan hukum positif. Singkatnya, hukum positif hanya dapat dihasilkan oleh organ negara yang memang diberikan kewenangan untuk itu.
Tentang pembentukan peraturan perundangan, hukum positif yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pasal 7 UU tersebut mengatur jenis dan hirarki peraturan perundangan adalah: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Udang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Perpres, Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Di luar itu, peraturan perundangan yang berlaku adalah yang ditetapkan oleh organ negara (contohnya: MPR hingga Bank Indonesia). UU itu juga mengakui regulasi yang diterbitkan oleh anggota kabinet seperti Peraturan Menteri.
Sedangkan untuk badan, lembaga, dan komisi negara lainnya, hanya diakui berwenang membuat hukum positif jika keberadaannya “dibentuk dengan undang-undang, atau Pemerintah atas perintah undang-undang” (Pasal 8 Ayat (1) UU No 12/2011). Atau dengan pemaknaan terbalik alias a contrario, maka badan, lembaga dan komisi negara yang tidak dibentuk dengan undang-undang, ataupun dibentuk pemerintah bukan atas perintah undang-undang, tidak punya kewenangan untuk menetapkan hukum positif.
Lalu bagaimana dengan Fatwa MUI? Ada dua hal yang harus dijawab sebelum menentukan apakah Fatwa MUI itu merupakan hukum positif atau bukan.
Pertama, bagaimanakah status kelembagaan MUI sendiri? Lalu,kedua, apakah MUI adalah lembaga yang bisa menghasilkan hukum positif?
Pertanyaan pertama lebih sulit untuk dijawab: Apakah status hukum dari MUI?
Dibentuk pada tahun 1975, dalam diri MUI ada berbagai sifat badan hukum, seperti ciri lembaga negara, organisasi masyarakat, bahkan ada pula yang berpandangan berciri lembaga swadaya masyarakat.
Misalnya, Profesor Tim Lindsey, Direktur CILIS (Center for Indonesian Law, Islam and Society) pada Melbourne University Law School berpendapat bahwa MUI adalah LSM yang juga mempunyai bersifat organ publik negara atau Quasi-Autonomous Non-Governmental Organization (QuANGO).
Sifat MUI sebagai lembaga negara paling kuat terasa pada kewenangannya menerbitkan sertifikasi halal serta menerima dana sertifikasi halal, peran mana akan beralih kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Namun, ciri organ negara itu gugur salah satunya karena uang publik yang dikumpulkan tersebut tidak diizinkan diperiksa oleh komisi audit negara, utamanya BPK dan BPKP.
Apapun bentuk badan hukum MUI, pertanyaan kedua lebih mudah untuk dijawab. MUI bukanlah badan, lembaga, komisi negara yang “dibentuk dengan undang-undang, atau Pemerintah atas perintah undang-undang” sebagaimana diatur dalam UU 12/2011.
Memang, MUI disebutkan dalam beberapa Pasal UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, namun itu bukan berarti MUI dibentuk ataupun diperintahkan pembentukannya dengan undang-undang. Karena itu, MUI tidak berwenang mengeluarkan produk yang bisa menjadi hukum positif di Tanah Air.
Konsekuensinya, Fatwa MUI bukanlah hukum positif di Indonesia. Fatwa MUI hanya bisa menjadi hukum positif jika substansinya ditetapkan oleh organ negara yang berwenang untuk menjadi peraturan perundangan sebagaimana diatur jenis dan hirarki dalam UU No 12 Tahun 2011 di atas.
Selama belum ditetapkan sebagai hukum positif, maka Fatwa MUI adalah hukum aspiratif dalam konteks hukum nasional. Karena bukan sebagai hukum positif itu pula, maka secara teori, Fatwa MUI tidak dapat menjadi objek uji materi perundangan di hadapan meja hijau Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, misalnya, kedudukan Fatwa MUI adalah sama dengan pendapat ahli lainnya.
Posisi MUI dengan fatwanya adalah sama dengan dengan posisi pendapat ahli hukum, bahasa, dan agama yang diundang Bareskrim Polri dalam gelar perkara kala itu.
Tegasnya, Fatwa MUI dalam gelar perkara itu adalah salah satu pendapat, dari banyak pendapat yang didengarkan oleh Polri, dan bukan hukum positif yang kedudukannya mengikat untuk dilaksanakan aparat penegak hukum.
Lebih jauh, karena Fatwa MUI itu hanya pendapat, maka posisinya di hadapan majelis hakim persidangan kasus Ahok adalah salah satu alat bukti surat, yang sama dengan alat bukti lainnya, sekali lagi, bukan hukum positif yang sifatnya mengikat majelis.
Karena bukan hukum positif dan tidak mengikat itu, maka sifat Fatwa MUI tidaklah mempunyai kekuatan hukum memaksa sebagaimana hukum positif pada umumnya. Lebih jauh, apabila dikaitkan dengan hukum pidana, maka Fatwa MUI tidak bisa menjadi instrumen hukum yang menjadi dasar dilakukannya upaya hukum memaksa (sepertisweeping) ataupun menjadi dasar dijatuhkannya sanksi pidana.
Apalagi berdasarkan Pasal 15 UU No 12 Tahun 2011, peraturan perundangan yang dapat mengatur sanksi pidana dibatasi hanya pada dua jenis peraturan, yaitu Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Jadi, jika materi Fatwa MUI itu tidak diadopsi ke dalam bentuk UU ataupun Perda, maka isi fatwa itu merupakan pendapat, yang tidak mengikat secara hukum, tidak dapat diterapkan secara memaksa, apalagi menjadi satu-satunya dasar dijatuhkannya sanksi pidana, misalnya dalam kasus penodaan agama.
Namun, saya tetap ingin memberikan satu catatan, terkait posisi Fatwa MUI sebagai sumber hukum, meskipun sekali lagi bukan hukum positif. Teori dasar pengantar ilmu hukum, selalu memasukkan pendapat (doktrin), termasuk dalam hal ini fatwa para alim ulama di MUI, sebagai salah satu sumber hukum di samping sumber hukum lain seperti peraturan perundangan, putusan peradilan, maupun perjanjian internasional.
Namun, sekali lagi, posisi Fatwa MUI sebagai salah satu sumber hukum, bukan berarti Fatwa MUI adalah hukum positif. Sebagai sumber hukum, kedudukan Fatwa MUI barulah hukum aspiratif yang dapat menjelma menjadi hukum positif jika diundangkan dalam aturan perundangan ataupun diputuskan dalam putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap, dan akhirnya menjadi yurisprudensi.
Satu poin terakhir, sebelum saya mengakhir Catatan Kamisan ini, karena Fatwa MUI bukan hukum positif, dan tidak mempunyai kekuatan hukum memaksa, maka penegakannya tidak boleh menggunakan aparatur negara seperti kepolisian, serta tidak diperkenankan dengan cara-cara yang memaksa seperti sweeping di pusat perbelanjaan dan sejenisnya.