Tribratanews.polri.go.id - Jakarta. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah melakukan 14 kali penegahan barang pelanggar kekayaan intelektual sejak 2019 sampai April 2024.
Kepala Sub-direktorat Kejahatan Lintas Negara Bea Cukai Sonny Surachman Ramli mengungkapkan barang-barang yang ditegah tersebut berupa 1,15 juta buah pulpen lokal, 160 gulungan dan 890 karton amplas, 3,15 juta pisau cukur, 72 ribu kosmetik, serta 1.681 karton masker.
"Dari 14 penegahan yang kami lakukan, sebanyak 7 kasus diproses ke Pengadilan Niaga dan sisanya tidak diproses oleh pemeriksa," ujar Kepala Sub Sonny, Selasa (7/5/24).
Selain pidana, penegakan hukum kekayaan intelektual juga bersifat perdata, sehingga apabila di lapangan terdapat kasus yang tidak dilanjutkan oleh pemegang hak dengan alasan tertentu, maka tidak akan dilanjutkan prosesnya ke Pengadilan Niaga.
Setelah Pengadilan Niaga setempat mengeluarkan putusan yang menyatakan adanya pelanggaran terhadap barang impor yang ditegah Bea Cukai, ia menuturkan barulah penyitaan produk yang melanggar dapat dilakukan.
Baca Juga: Polda Sulteng Gandeng Tokoh Agama Untuk Bantu Bentengi Masyarakat Dari Paham Radikal
Pada 8 September 2022, telah dilakukan pemusnahan barang pelanggaran dalam sistem rekordasi (perekaman) Bea Cukai, yaitu berupa pulpen yang dibawa oleh PT Standardpen Indonesia sebanyak 1,3 juta buah, di mana 1,1 juta buah pulpen termasuk barang yang disita Bea Cukai Tanjung Perak pada 2019.
Penyitaan lainnya dilakukan Bea Cukai Tanjung Emas pada 2021 sebanyak 288 ribu buah pulpen. Selanjutnya terhadap pulpen tersebut dilakukan pemusnahan oleh Bea Cukai sebagai tindak lanjut dari selesainya proses penanganan pidana oleh penyidik Polri.
Bea Cukai Tanjung Emas juga telah menyita 350 karton berisi sekitar 403.200 buah pisau cukur yang melanggar merek dagang Gillette 3D pada 2022.
Kepala Sub Sonny menegaskan, pelanggaran kekayaan intelektual memiliki banyak dampak negatif, sehingga diharapkan tidak kembali terulang. Adapun berbagai dampak negatif dimaksud, yakni pertama, berdampak buruk terhadap kesehatan konsumen, contohnya pelanggaran dalam bentuk pemalsuan obat atau kosmetik.
Kedua, berbahaya bagi keselamatan konsumen, contohnya pemalsuan onderdil kendaraan yang akan mengganggu keamanan berkendara. Ketiga, dapat menurunkan minat bagi para penemu untuk berinovasi dan berkreasi.
Dia menambahkan, dampak negatif keempat, yakni menurunkan atau memperburuk reputasi dan citra dari merek yang dipalsukan atau ditiru. Kelima, masalah kepercayaan internasional dan investasi atas negara yang memiliki banyak kasus pelanggaran kekayaan intelektual.
Kemudian dampak negatif keenam, sambung dia, yaitu dapat dijadikan sumber pendanaan bagi kejahatan terorganisasi dan terorisme.
"Ini tidaklah berlebihan, tetapi ada kemungkinan bisa terjadi," tutup Kepala Sub Sonny.
(ndt/hn/nm)